21 August, 2013

You + Me = Awesome

1 comment

Rasa Percaya Diri (PD) karena menyadari betapa berharganya diri kamu: sangat seksi, menarik, dan menawan hati!!!  

Percaya Diri adalah CURRENCY alias MATA UANG dalam transaksi percintaan, berlaku sejak PDKT hingga pacaran atau merit.  


Apa efek minim PD saat pacaran/merit? Cemburu, parno'an, wajib rajin lapor, kasar, banyak peraturan, posesif..  


Kalo kamu aja sulit untuk Percaya DIRI, ya jelaslah bakalan jauh lebih sulit untuk bisa Percaya DIA..


Kalo saat single kamu minim PD, jangan mimpi setelah pacaran bisa naik PD-nya. Karena justru jadi makin insecure & ambruk!  


PD minim bikin kamu sulit hadapi MASALAH hubungan. Dan juga sulit benar-benar percaya bahwa pasangan SAYANG kamu! 


Menyayangi kekasih yang tidak Percaya Diri itu SULIT, karena dia sering tidak yakin dia layak dipuji, disayang, dsb. 


Orang yang minim PD juga suka CURHATin isu hubungan sama temen-temennya yang kadang justru bikin dia makin ilang PD. ;)  


Gimana kalo kamu & kekasih minim PD? Hubungan bisa tahan lama sih (karena ketergantungan), tapi berat capek men beraaaat.. :D  


Gimana kalo salah satu pihak minim-PD? Biasanya pihak yg minim-PD tetep minim, tapi pihak yg sudah-PD jadi berkurang..  


So, PD itu wajib.. Atau kamu akan menyakiti diri sendiri dan menyia-nyiakan orang yang sudah menyayangi kamu! 


Untuk setiap detik kamu meragukan kekasihmu, kamu sedang menyabotase kemampuanmu untuk mencintai.. ;) 


Hubungan cinta itu KADANG memuaskan, BISA SAJA membahagiakan, tapi yang jelas SANGAT mendewasakan.. ;) 

Ya, hubungan cinta itu mendewasakan, tapi wajib dewasa dulu baru berhubungan. Bukannya berhubungan supaya jadi dewasa!  

Kalo sedikit-sedikit sensi, ngambek, drama, dsb, ya itu bukan hubungan yg mendewasakan.. tapi membinasakan! :p  

Kamu akan sulit bahagia dengan pasangan/hubungan kamu jika kamu sibuk memperhatikan pasangan/hubungan orang lain..  

Bantu kekasih kamu menjadi sosok yang DIA impikan. Bukannya menjadi sosok yang KAMU impikan.  

Tidak perlu takut dukung impian kekasih kamu. Karena setelah berhasil, kamu makin menjadi bagian terpenting dalam hidupnya!  

Kenali kelebihan/kekuatan pasangan kamu. Dan gunakan itu sebagai energi baginya mengatasi kekurangan/kelemahannya.  

Itu sebabnya sebelum pacaran/merit mesti masing-masing sudah bahagia dulu. Supaya jadi ga egois nuntut dibahagiain!  

Kalo sudah sama-sama bahagia, kamu & kekasih jadi bisa melipatgandakannya.. Bukannya sibuk merawat satu sama lain.  

Sekalipun sudah pacaran/merit, kebahagiaan tetap adalah tanggung jawab diri sendiri.

*karena jika kita sendiri tidak bisa membahagiakan diri kita, bagaimana kita bisa membahagiakan orang lain??*
Disadur dari kultwit #faktacinta @lexdepraxis
.
.
~ We're awesome.
I'm awesome. You're awesome.
But I make you more awesome. And you make me more awesome.
So darling, let's grow and get adventures together!! ~


Read More...

12 August, 2013

Analisis Terorisme Berdasarkan Penyebab Agresi

5 comments
*Tulisan tamu oleh Rama, mahasiswa Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia*

Artikel ini merupakan tulisan eksposisi (penjelasan) terorisme berdasarkan penyebab agresi menggunakan polythetic analysis.


Definisi Agresi

Aggression yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai agresi memiliki beberapa definisi sebagai berikut. 

Arti Agresi menurut Nelson[1] adalah perilaku terbuka yang dilakukan suatu individu untuk menyebabkan cedera fisik terhadap individu lainnya. Levinson[2] mendefinisikan agresi tidak hanya sebagai perilaku terbuka tetapi juga perilaku yang direncanakan oleh suatu subyek—baik individu maupun kelompok—untuk merugikan subyek lainnya.

Lebih lanjut, Lorenz[3] mendefinisikan perilaku agresif sebagai insting untuk melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut merupakan produk dari persilangan egoisme dan adanya konflik hajat antaranggota spesies yang hidup dalam satu komunitas. Oleh karena itu, walaupun agresi pada dasarnya dianggap sebagai suatu hal yang merugikan, Lorenz menilai fungsi tersebut vital keberadaannya untuk mencapai atau melindungi hajat suatu subyek dalam komunitas spesies tertentu.

Keragaman definisi agresi tidak menyebabkan agresi memiliki makna yang divergen (bercabang). Hampir keseluruhan definisi yang ada mengerucut pada satu hal:

Agresi merupakan perilaku merugikan yang dilakukan oleh suatu subyek terhadap subyek lainnya untuk mencapai atau melindungi hajat atau kepentingan tertentu. 

Namun, apakah konvergensi makna tersebut menyebabkan agresi dapat didekati secara pasti melalui satu sudut pandang tertentu?

Polythetic Analysis on Aggression 

Agresi merupakan hal yang kompleks. Beragam teori telah dibangun untuk menjelaskan keberadaan agresi, baik pada hewan dan manusia maupun spesifik pada manusia.

Tremblay[4] et al. mengembangkan skema analisis agresi berdasarkan skema yang telah dibuat sebelumnya oleh Cairns[5]. Klasifikasi tersebut mengantarkan pendekatan analisis agresi melalui tiga jalur utama, yaitu penyebab agresi, cara pengekspresian agresi, dan konsekuensi dari agresi.

Berdasarkan penyebabnya, agresi dapat terjadi karena adanya hal berikut.
  • Pemicu internal yang disebabkan oleh mekanisme otak dan keseimbangan kimia darah 
  • Pemicu eksternal yang disebabkan oleh stimulus lingkungan 
  • Pemicu yang diakibatkan berdasarkan perkembangan dari suatu peristiwa tertentu. 
Berdasarkan cara pengekspresiannya, agresi dapat dibedakan menjadi dua hal berikut.
  • Agresi yang dilakukan dengan tindakan langsung 
  • Agresi yang dilakukan berdasarkan tindakan tidak langsung. 
Berdasarkan konsekuensinya, agresi dapat dibedakan berdasarkan
  • Bentuk dampak: apakah berdampak negatif terhadap fisik atau mental. 
  • Fungsinya: apakah agresi merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan lainnya atau dilakukan untuk memenuhi dorongan emosional semata.

Polythetic analysis of aggression
Polythetic analysis of aggression [6]

Pengertian Terorisme

Sudah bukan rahasia lagi bahwa terdapat kesulitan untuk mengarahkan pengertian terorisme ke satu definisi yang sama. 

Pengertian Terorisme menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat[7] adalah kekerasan terencana dengan motivasi politik yang dilakukan oleh kelompok subnasional atau agen klandestin (agen rahasia) terhadap target sipil untuk mempengaruhi khalayak umum.

Hudson[8] juga mendefinisikan terorisme sebagai tindak kekerasan yang menggunakan pendadakan terhadap target sipil maupun target simbolis oleh anggota klandestin dari suatu kelompok subnasional untuk tujuan psikologis, baik hanya sekadar untuk publikasi motivasi politik atau agama mereka dan/atau mengintimidasi pemerintah atau populasi sipil untuk memenuhi tuntutan mereka.

Definisi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Hudson yang mewakili peneliti kongres Amerika Serikat tersebut merupakan sedikit dari definisi yang dianggap memiliki bias. Wilkins[9], Vertigans[10], dan Silke[11] adalah beberapa peneliti yang menyuarakan akan kebutuhan satu definisi terorisme yang objektif, terbebas dari justifikasi kepentingan politik dan finansial suatu pemerintahan dan departemen terkait pada pemerintahan tersebut.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Wilkins menawarkan satu definisi terorisme yang umum.

Definisi Terorisme umum oleh Wilkins
Suatu bentuk usaha untuk mencapai perubahan politik, sosial, ekonomi, maupun agama dengan penggunaan kekerasan, baik dalam bentuk nyata maupun sebatas ancaman terhadap orang (baik individu maupun kelompok) atau terhadap properti.

Definisi Wilkins adalah definisi terorisme yang paling sesuai untuk mendiskusikan kaitan antara agresi dan terorisme serta teori agresi manakah yang cocok untuk menjelaskan kondisi terorisme dewasa ini.

Polythetic Observation terhadap Terorisme

Berdasarkan definisi agresi dan terorisme di atas, dapat dilihat bahwa terdapat benang merah antara agresi dan terorisme. Disebutkan sebelumnya bahwa teroris menggunakan kekerasan untuk melaksanakan aktivitas terorismenya. Kekerasan yang dilakukan tersebut secara figuratif (secara simbolis) dapat dicocokkan maknanya dengan agresi.

Dengan demikian, agresi dapat dikatakan sebagai instrumen vital dalam pelaksanaan aktivitas terorisme. Hal tersebut menyebabkan agresi dapat dianggap sebagai subset (bagian) dari terorisme. Oleh karena itu, terorisme dapat dibedah menggunakan polythetic analysis yang digunakan terhadap agresi.

Polythetic Observation terhadap terorisme dapat dilakukan untuk mengetahui teori agresi manakah yang paling tepat untuk menjelaskan terorisme. Untuk melakukan hal tersebut, setidaknya perlu diketahui terlebih dahulu beberapa hal mengenai tindak terorisme yang terjadi dewasa ini.

Analisis pada tulisan ini akan difokuskan kepada jalur pertama saja, yaitu jalur penyebab agresi yang disesuaikan kepada terorisme. Untuk melakukan analisis tersebut, sedikitnya ada tiga variabel yang menjadi pertimbangan, yaitu (1) apakah kecenderungan terorisme dilakukan secara individual maupun berkelompok, (2) motivation, dan (3) media coverage.

(1) Individu atau Kelompok? 
Secara sederhana, dapat dilihat sebagian besar tindak kasus terorisme merupakan produk dari teroris-teroris yang berkelompok membentuk sebuah sel. Pembentukan sel tersebut umumnya mendorong anggota sel teroris yang memiliki motivasi yang sama untuk menanggalkan identitas serta paradigma individualnya. Kemudian ia meleburkan diri bersama anggota-anggota lainnya sehingga menciptakan identitas dan paradigma baru dan/atau mengadopsi identitas dan paradigma yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh teroris yang diidolakan atau dianggap ahli oleh sebagian besar anggota sel tersebut.

Hal tersebut sesuai dengan penemuan Zimbardo[12] dengan Stanford Prison Experiment-nya.

Dengan demikian, analisis terhadap pemicu internal yang disebabkan oleh anomali kimia darah dan mekanisme otak tidak lagi relevan untuk menjelaskan penyebab terorisme.



(2) Motivasi 
U.S. Army Training and Doctrine Command[13] membagi motivasi terorisme menjadi 4 kelompok utama, yaitu separatis, etnosentris, nasionalistik, dan revolusioner.

Berdasarkan pengamatan dari tindak terorisme yang terjadi, seringkali tindak terorisme yang dilakukan akhir-akhir ini adalah tindak terorisme yang memiliki motivasi separatis. Arti separatis adalah upaya membebaskan diri dari bentuk opresi yang dirasakan oleh kelompok tersebut, baik dalam hal politik, agama, ekonomi, dsb.

Hal ini menjelaskan relevansi analisis terorisme berdasarkan pemicu eksternal.

(3) Media Coverage (Liputan Media) 
Media coverage berperan besar dalam menentukan apakah penyebab terorisme merupakan perkembangan dari suatu peristiwa tertentu yang memiliki dampak signifikan terhadap terorisme.

Sebagai contoh, setelah peristiwa 9/11, terjadi peningkatan signifikan terhadap tindak terorisme internasional. Hal ini menunjukkan beberapa kemungkinan. Pertama adalah pergeseran nilai dan norma serta paradigma sehingga agresi dianggap satu-satunya cara yang sah dan berhasil untuk menyuarakan motivasi dan/atau mencapai hajat tertentu. Kedua adalah keberhasilan tindak terorisme melalui media sebagai berita teroris internasional menjadi suatu katalis bagi keberanian sekelompok orang yang tadinya takut untuk melakukan agresi aktif.

Hal itu sejalan dengan copycat effect yang dijelaskan Coleman[14]

Pengaitan Teori Agresi dengan Terorisme

Berdasarkan penjabaran polythetic analysis terhadap terorisme, setidaknya terdapat tiga kandidat utama yang saling berkaitan untuk menjelaskan terorisme.

Aggression-Frustation Theory yang dimodifikasi oleh Berkowitz[15] 
Telah dijelaskan sebelumnya, motivasi utama terorisme adalah motivasi separatis karena adanya opresi (praktik ketidakadilan atau kekejaman yang dilakukan oleh otoritas atau kekuatan tertentu[16]) yang dirasakan oleh suatu subyek. Ketidakadilan tersebut apabila dirasa tidak dapat diubah melalui cara-cara yang legal dapat mendorong sekelompok orang. Kondisi tersebut dapat menciptakan perasaan frustasi terhadap subyek tersebut dan perasaan frustasi tersebut dapat berkembang menjadi amarah saat frustasi tersebut dirasakan secara berkelanjutan oleh sekelompok orang tersebut.

Selain itu, bila dilihat dari sisi dampak terorisme, aktivitas yang dilakukan oleh sebagian besar kelompok terorisme merupakan tindakan agresi langsung yang dilakukan untuk mencederai secara fisik, baik manusia maupun properti. Instrumen yang digunakan dalam aktivitas terorisme dalam melakukan tindakan agresi langsung dikatakan oleh Berkowitz sebagai aggressive cue. Maka, pada saat rasa amarah tersebut mendapatkan akses terhadap aggressive cue, aktivitas terorisme bisa saja terjadi.

Social-Learning Theory oleh Bandura[17]
Manusia berperilaku agresif karena observasi yang dilakukan terhadap perilaku agresif yang dilakukan manusia lainnya. Globalisasi informasi menyebabkan peliputan media dan pendistribusiannya dapat dilakukan secara luas dan masal. Peningkatan terorisme setelah peristiwa 9/11 menunjukkan kesesuaian dengan teori yang dikemukan Bandura dengan menggunakan media massa sebagai fasilitas utama yang mendorong peningkatan observasi perilaku agresif.

Deindividuation Theory 
Selain Stanford Prison Experiment, Deindividuation theory yang terjadi secara internal terhadap suatu kelompok teroris dapat dipelajari pada kelompok Ku Klux Klan.


Penyeragaman penampilan dengan jubah dan topeng putih disertai anonymity yang ada di dalam kelompok tersebut menyebabkan perlahan-lahan terjadinya peleburan paradigma dan identitas individual menjadi satu bentuk paradigma dan identitas kolektif.

Penyeragaman identitas dan paradigma teroris tersebut selain dapat terjadi dalam satu kelompok teroris, dapat pula terjadi antarsel terorisme (jaringan terorisme), khususnya kelompok teroris yang mencatut nama kelompok terorisme lainnya. Secara tidak langsung, menunjukkan adanya niatan untuk menyamakan identitas dan paradigma oleh kelompok teroris tertentu terhadap kelompok terorisme lainnya.

Hal tersebut juga menunjukkan terdapat hubungan antara Deindividuation Theory dengan Social-Learning Theory.

***

[1] Nelson, Randy J. Preface. Biology of Aggression. Oxford: Oxford UP, 2006. v-ix. Digital.
[2] Levinson, David. Preface. Aggression and Conflict: A Cross-cultural Encyclopedia. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO, 1994. vii-viii. Digital.
[3] Lorenz, Konrad. Introduction. On Aggression. London: Routledge, 2002. ix-xiv. Digital.
[4] Tremblay, Richard Ernest., Willard W. Hartup, and John Archer. Developmental Origins of Aggression. New York: Guilford, 2005. Digital.
[5] Cairns, R. B. Social Development: The origins and plasticity of interchanges. San Francisco: Freeman, 1979. Digital.
[6] Tremblay, Richard Ernest., Willard W. Hartup, and John Archer. Developmental Origins of Aggression. New York: Guilford, 2005. 30. Digital. 
[7] "22 USC § 2656f - Annual Country Reports on Terrorism." 22 USC § 2656f. Legal Information Institute, n.d. Web. 03 Mar. 2013. <http://www.law.cornell.edu/uscode/text/22/2656f>. 
[8] Hudson, Rex A. The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why? : A Report. Washington, D.C.: Library of Congress, 1999. Digital. 
[9] Wilkins, Burleigh Taylor. Introduction. Terrorism and Collective Responsibility. London: Routledge, 1992. 1-8. Digital.
[10] Vertigans, Stephen. Terrorism and Societies. Aldershot: Ashgate, 2008. Digital.
[11] Silke, Andrew. “An Introduction to Terrorism Research”. Research on Terrorism: Trends, Achievements & Failures. London: Frank Cass, 2004. Digital.
[12] Zimbardo, Philip G. The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil. New York: Random House, 2007. Digital.
[13] "Chapter 2/Terrorist Motivations and Behaviors." A Military Guide to Terrorism in the Twenty-first Century. Fort Leavenworth, Kan.: U.S. Army Training and Doctrine Command, 2007. 1-17. Digital.
[14] Coleman, Loren. The Copycat Effect: How the Media and Popular Culture Trigger the Mayhem in Tomorrow's Headlines. New York: Paraview Pocket, 2004. Digital.
[15] Berkowitz, Leonard. Roots of Aggression; a Re-examination of the Frustration-aggression Hypothesis. New York: Atherton, 1969. Digital.
[16] "oppression." Merriam-Webster.com. Merriam-Webster, 2013. Web. 03 Mar. 2013.
[17] Bandura, Albert. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1977. Digital.


Read More...

02 August, 2013

Kemunculan Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia

3 comments

Selama beberapa dekade, masyarakat adat di Indonesia telah terlibat dalam perjuangan mandiri terhadap perampasan hak dan martabat mereka karena kebijakan, hukum, dan aktivitas negara.

Pada tahun 1999, masyarakat adat Indonesia mulai mengorganisasi diri. Lebih dari 200 perwakilan masyarakat adat dari seluruh Indonesia berkumpul di Kongres Masyarakat Adat Nusantara I atau AMAN I. Kongres ini diprakarsai oleh Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat (AMA Kalbar), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) dan mendapat dukungan kuat dari organisasi masyarakat adat regional lainnya dan jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kongres ini, yang diselenggarakan di jantung kota Jakarta, menarik liputan media besar dan menghasilkan pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN. Gayung bersambut, kata berjawab (untuk terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat).

Pada masa sebelum Kongres, banyak masyarakat adat yang telah berjuang untuk menyelamatkan tanah dan kehidupan mereka. Banyak yang tegas menolak upaya perusahaan dan pemerintah daerah untuk mengambil alih tanah mereka, beberapa berjuang tanpa mendapat perhatian.

Dimulai pada tahun 1988 dan berlanjut sampai hari ini, ratusan masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara berjuang melawan PT Inti Indorayon Utama (sekarang berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari), yang diberikan izin untuk membabat hutan dan mengembangkan perkebunan kayu untuk pulp dan pabrik kertas. Sepuluh wanita yang dipimpin oleh Nai Sinta merintis perjuangan dalam membela tanah leluhur mereka. Tanah itu diam-diam dipindahtangankan ke PT Inti Indorayon Utama menggunakan tanda tangan palsu.

Pada kasus lain, pemuda dan tetua Dayak Simpang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat menolak pengembangan perkebunan kelapa sawit dan konsesi penebangan hutan atas tanah adat mereka. Di Kalimantan, Bentian Dayak, yang terkenal karena pengetahuan dan keterampilan dalam budidaya rotan mereka, berjuang melawan perusahaan kayu yang menebang hutan dan merusak kebun rotan mereka. [i]

Langkah Awal

Menanggapi perjuangan lokal dan sikap negara yang otoriter, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Friends of the Earth Indonesia (WALHI) dan Wahana Lestari Persada (Walda)-Toraja memfasilitasi pertemuan pada tahun 1993 di Tana Toraja yang dihadiri sejumlah pemimpin masyarakat adat, seperti Nai Sinta dari Sumatera Utara, Petinggi Aris dari Simpang Hulu, LB Dingit dari Kalimantan Timur, Den Upa Rombelayuk dan Pak Sombolinggi dari Tana Toraja, Oom Ely dari Haruku, dan Tom Beanal dari masyarakat Amungme di Papua Barat. Pertemuan ini juga dihadiri oleh advokasi hak asasi manusia dan lingkungan (umumnya merupakan para pemuda adat) yang dengan para pemimpin adat kemudian mendirikan JAPHAMA.

Pertemuan tersebut juga menyepakati penggunaan istilah ‘masyarakat adat’ sebagai ekspresi umum untuk mengacu pada penduduk pribumi di Indonesia. Istilah ini, yang dikenal dan digunakan oleh banyak masyarakat adat di Indonesia, memiliki arti: masyarakat yang memiliki asal usul leluhur pada suatu wilayah geografis tertentu dan memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, masyarakat dan pengelolaan lahan. Istilah ini juga yang paling diterima secara sosial dan politik pada masa 1993 di bawah pemerintahan rezim Soeharto yang otoriter dan opresif.

Pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa kasus-kasus pelanggaran hak asasi masyarakat adat di Indonesia harus dihadapi dengan gerakan massa yang terorganisasi. Menyadari keterbatasan individu dan kelompok yang menghadiri pertemuan tersebut, disepakati bahwa prioritas akan diberikan untuk memperkuat gerakan dengan menyetujui bahwa setiap peserta wajib 'diam-diam' menyebarkan konsep, ketentuan, dan strategi advokasi kepada konstituen mereka sendiri. Selain itu, juga disepakati bahwa JAPHAMA sebaiknya tidak hanya  menjadi lembaga formal yang berdiri sendiri tapi harus menjadi jaringan yang dinamis dengan mandat untuk mendukung pengembangan organisasi masyarakat adat dan internalisasi perhatian masyarakat adat dari berbagai LSM dan lembaga lain.

1993 dan seterusnya adalah era di mana semakin banyak organisasi masyarakat adat dan LSM advokasi masyarakat adat berdiri di seluruh Indonesia, selain yang sudah ada sebelumnya.

Di Sumatera Barat pemuda Mentawai mendirikan Yayasan Citra Mandiri, di Kalimantan Barat beberapa pemuda Dayak mendirikan Lembaga Bela Banua Talino, sedangkan di Kalimantan Timur Lembaga Bina Benua Puti Jaji didirikan. Hal serupa juga terjadi di Maluku dengan Baileo Maluku yang kemudian menjadi sebuah jaringan organisasi masyarakat adat dan LSM adat di Maluku Tengah dan Tenggara. Di Papua Barat pengacara muda mendirikan Lembaga Pengkajian Dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPPMA). [ii] 

Pada saat yang sama, beberapa LSM hak asasi manusia dan lingkungan yang berbasis di Jakarta mengangkat isu masyarakat adat sebagai prioritas kegiatan mereka, termasuk kelompok-kelompok seperti ELSAM (Institute for Human Rights Study and Advocacy) / Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia), WALHI, International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) / Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Selama periode 1996-1997, dua organisasi masyarakat adat regional pertama didirikan, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat dan JAGAT di Nusa Tenggara Timur. Dalam periode yang sama, sejumlah jaringan LSM tumbuh dan mengambil isu-isu masyarakat adat sebagai salah satu prioritas perhatian mereka. Sebut saja, JKPP, Konsortium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), Jaringan Tambang (JATAM) dan Jaringan Pesisir dan Laut (Jaring Pela).

Bertepatan dengan proses 'internal' dalam memperkuat gerakan masyarakat adat, pemerintah otoriter jatuh pada tahun 1998. Situasi ini memberikan ruang politik yang lebih terbuka bagi masyarakat sipil. Oleh karena itu, beberapa tokoh masyarakat adat dan advokasinya menyelenggarakan Kongres pertama pada tahun 1999.

Kongres kedua (AMAN II) diadakan pada bulan September 2003. Sudah menjadi kewajiban dan hak anggota AMAN untuk hadir di Kongres, dengan menunjuk satu orang atau lebih untuk mewakili masing-masing komunitas. Anggota AMAN adalah komunitas adat dan organisasi masyarakat adat di tingkat lokal dan regional (merujuk ke distrik atau wilayah yang dibatasi secara adat dan ruang provinsial) yang beraliansi dengan AMAN. Seperti yang telah direncanakan, Kongres kedua ini dihadiri oleh lebih dari 1.000 perwakilan anggota AMAN. Terdapat 927 komunitas yang terdaftar di AMAN sekarang, 777 diantaranya adalah anggota terverifikasi. 18 organisasi masyarakat adat di tingkat lokal dan 11 di tingkat regional beraliansi dengan AMAN. Harapan pada tahun 1999 bahwa semua anggota akan menunjukkan kapasitas, kinerja, dan, prestasi organisasi adat terpenuhi. Demi persiapan untuk Kongres kedua, 12 pertemuan adat regional (provinsi) dan banyak pertemuan lokal lainnya diadakan sebagai sarana konsolidasi organisasi dan untuk memilih wakil-wakil untuk Kongres.

Rangkaian kegiatan menuju AMAN II dilakukan melalui pendekatan refleksi-konsolidasi. Tujuan utamanya adalah untuk:
  1. mengambil pelajaran dari pelaksanaan keputusan AMAN I selama 4 tahun terakhir, 
  2. mengkonsolidasikan organisasi masyarakat adat dan mengembangkan sinergi semua tindakan dari masyarakat adat pada tingkat regional 
  3. memobilisasi dukungan yang luas untuk gerakan masyarakat adat melalui penguatan dan perluasan aliansi dengan kelompok-kelompok pro-demokrasi lainnya, 
  4. mengembangkan struktur organisasi yang lebih responsif terhadap perubahan situasi dan lebih efektif dalam melayani anggota, dan
  5. mempertajam platform gerakan dengan mengembangkan pedoman strategis untuk kerangka kerja organisasi dan program yang mengakomodasi aspirasi dan tuntutan masyarakat adat di Indonesia. 
Semua tujuan ini diarahkan untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi gerakan masyarakat adat dalam transformasi sosial di Indonesia. Menyadari tantangan dan tujuan utama, Kongres kedua melahirkan beberapa keputusan penting: struktur baru Dewan Nasional dengan area kerja yang ditentukan, dan beberapa Koordinator, peningkatan anggaran rumah tangga, resolusi politik, dan program.

Selain koordinasi lokal, regional dan nasional, AMAN juga mengembangkan hubungan dengan berbagai organisasi masyarakat adat internasional. Di Asia, AMAN menjadi anggota dari Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) / Pakta Masyarakat Adat Asia. Pada KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan (2002), AMAN bergabung dengan Indigenous Peoples Caucus (Masyarakat Adat Kaukus), salah satu kelompok masyarakat sipil yang paling terorganisir dan efektif. AMAN juga telah bekerja sama dengan International Working Group on Indigenous Affairs (IWGIA) / Kelompok Kerja Internasional untuk Urusan Adat, baik untuk mendukung upaya mereka maupun sebagai bentuk langkah bergabung dengan advokasi internasional. Selain mengikuti jaringan internasional sebagai sebuah kelompok, AMAN juga memfasilitasi partisipasi anggotanya dalam berbagai forum dan jaringan internasional.

Kritik Internal dan Eksternal

Adanya perjuangan dan pemberdayaan masyarakat adat melalui proses pengorganisasian sebagaimana dicontohkan oleh AMAN tidak serta-merta membuat masalah mereka terpecahkan. Proses ini dianggap sebagai alat pengembangan dalam memberdayakan diri mereka untuk perjuangan kolektif. Upaya ini tidak kebal dari kritik internal dan eksternal.

Setelah Kongres pertama, Dewan Perwakilan AMAN bertemu secara rutin setiap enam bulan. Pertemuan digunakan untuk refleksi internal, pembahasan isu-isu baru, dan perencanaan kegiatan selanjutnya. Selain itu, AMAN dan LSM pendukung mengadakan pertemuan refleksi bersama pada tahun 2001. Beberapa masalah yang diidentifikasi dalam pertemuan tersebut, misalnya, masalah tentang tingkat perkembangan yang berbeda dari organisasi masyarakat adat yang memiliki kebutuhan yang berbeda, adanya sikap yang keliru kepada sekretariat AMAN yang memperlakukan mereka sebagai dewa atau juru selamat, dan adanya kebutuhan kesadaran bahwa terdapat kecenderungan pemanfaatan isu 'masyarakat adat' untuk merevitalisasi feodalisme.

AMAN bekerja sama dengan World Agro Forestry Center (ICRAF) / Pusat Agro Kehutanan Dunia dan Forest Peoples Program (FPP) / Program Masyarakat Hutan pada tahun 2001 mengembangkan latihan menarik untuk menguji kekuatan organisasinya. Latihan yang menantang pernyataan "kuat" AMAN sendiri:

"Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara"


Pernyataan kuat ini tidak hanya mendesak pemerintah untuk merespon tuntutan masyarakat adat, tapi juga memunculkan perdebatan penting dalam masyarakat tentang pengakuan yang bagaimana yang sebenarnya diinginkan masyarakat adat dari pemerintah.

Pertanyaan lebih jauh:
  • Jika negara tidak mengakui hak-hak masyarakat adat bagaimana tepatnya mereka kemudian menggunakan hak-hak tersebut? 
  • Bagaimana seharusnya hukum nasional dibentuk untuk mengakomodasi keragaman adat dan aspirasi dari 500 masyarakat adat yang berbeda? 
  • Apa jenis pengakuan hukum atas hak tanah yang diinginkan masyarakat adat? 
  • Siapa yang akan bernegosiasi atas nama masyarakat adat di masa depan?
  • Bagaimana masyarakat mengorganisasi mereka sendiri? 
  • Bagaimana mereka akan berinteraksi dengan pemerintah? 
Latihan ini bertujuan untuk memfasilitasi diskusi lebih mendalam mengenai pertanyaan-pertanyaan pada beberapa komunitas masyarakat adat dalam lingkaran AMAN. Ini adalah suatu bentuk tanggapan terhadap kebutuhan untuk mengklarifikasi banyak tuntutan AMAN.

Mungkin tuntutan-tuntutan tersebut sudah jelas dari sudut pandang masyarakat adat. Namun, penjelasan yang disetujui dan dipahami bersama mengenai tuntutan-tuntutan tersebut masih menunggu untuk dibakukan.

Catatan Kaki

[i] Untuk informasi lebih lanjut mengenai perjuangan masyarakat adat, baca Abdias Yas, "Menapaki Jejak Pejuan Hak Adat," Seri Kumpulan Kasus No. 01, (Pontianak, Lembaga Bela Banua Talino, 2003); Theo P.A. van den Broek ofm, et al, Memoria Passionis di Papua. Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia Gambaran 2000 (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Keuskupan Jayapura and Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta 2001); Janis Alcorn, "An Introduction to the Linkages between Ecological Resilience and Governance" in Janis B. Alcorn and Antoinette G. Royo, eds.. Indigenous Social Movements and Ecological Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia (Biodiversity Support Program, Washington, D.C., 2000); The Indigenous World 1997-1998 (IWGIA, Copenhagen, 1998) pp. 216-220; and websites of Down to Earth (www.dte.org).

[ii] Terdapat banyak organisasi-organisasi lain yang telah berjuang dalam mengangkat isu masyarakat adat yang tidak disebutkan di sini kareena kurangnya informasi.

Sumber

Artikel ini dikutip dari tulisan Sandra Moniaga, From Bumi Putera to Masyarakat Adat: a Long and Confusing Journey, yang dipresentasikan pada Workshop Adat Revivalism in Indonesia's Democratic Transition, di Batam pada 26-27 Maret 2004, diselenggarakan oleh Asia Research Institute, University of Singapore .
Sandra Moniaga adalah Executive Coordinator HuMa (the Association for Community and Ecologically-based Law Reform) dan peneliti PhD dari Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development (Leiden University).
http://www.hurights.or.jp/archives/focus/section2/2004/06/emerging-indigenous-peoples-movement-in-indonesia.html
Gambar: 
http://tajuk.co/2013/03/aliansi-masyarakat-adat-nusantara-desak-sahkan-ruu-adat/masyarakat-adat_170313_khairuddin-safri-3/

Read More...