29 July, 2013

Penyeimbangan Agama dan Negara untuk Penanganan Terorisme Agama

2 comments
*Tulisan tamu oleh Rama, mahasiswa Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia*

“Pro aris et focis” — Cicero, De Natura Deorum

Hubungan antara agama dan negara merupakan polemik yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Polemik tersebut terjadi karena terdapat persinggungan mengenai kekuasaan yang dimiliki oleh agama dan negara.

Secara definisi, kekuasaan tersebut dapat dilihat pada masing-masing kata dalam bahasa Indonesia. Berikut adalah definisi sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Definisi Agama 
Sistem atau prinsip kepercayaan kepada tuhan dengan kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan kepercayaan tersebut[1]. Adanya kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh agama menyebabkan terdapat kekuasaan absolut dari sebuah kekuatan metafisik yang harus dipenuhi untuk menaati aturan-aturan ilahiah yang dimilikinya.

Konsep Negara
Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat[2]. Kekuasaan tersebut bersifat manusiawi yang dapat didefinisikan, baik secara demokratis oleh masyarakat yang ada maupun secara totaliter oleh sekelompok atau satu orang tertentu.

Persinggungan kekuasaan yang ada antara agama dan negara menciptakan diskursus dengan beragam pertanyaan; Bagaimanakah definisi yang tepat mengenai kekuasaan agama dan negara? Dimensi apa sajakah yang layak untuk diatur oleh kedua hal tersebut? Bagaimanakah superioritas antara kekuasaan agama dan negara? Apakah seharusnya agama tunduk terhadap negara ataukah sebaliknya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan dibahas pada artikel ini. Pembahasan difokuskan pada dua pandangan yang dibentuk dari diskursus tersebut, yaitu teokrasi dan sekularisme.
Pembahasan dilanjutkan pada perkembangan kedua pandangan tersebut dan bagaimana perkembangan ini berdampak pada penciptaan teror. Pembahasan kemudian diakhiri dengan pendekatan solutif yang dapat dilakukan untuk menjembatani kedua pandangan tersebut.

Dua Pandangan Utama mengenai Hubungan Agama dan negara

Berdasarkan pendapat para ahli yang terlibat dalam diskursus tersebut, setidaknya terdapat dua paradigma utama yang menjelaskan hubungan antara agama dan negara.

Teokrasi
Pandangan Teokrasi diusung oleh kaum religius. Pandangan tersebut menyatakan bahwa kekuasaan agama merupakan suatu hal yang ilahiah sehingga ketundukan kekuasaan negara—yang pada dasarnya merupakan bentukan manusiawi berdasarkan kesepakatan suatu masyarakat—terhadap agama merupakan suatu keharusan.

Beberapa pendukung pandangan tesebut antara lain datang dari kaum muslim seperti Sayyid Qutb[3] dengan ideologi quttbiyah serta Ruhollah Khomeini[4], dan dari kaum kristiani seperti Rousas John Rusdoony[5] dengan Christian Reconstructivism-nya.

Sekularisme
Pandangan kedua disampaikan oleh kaum sekuler. Arti sekuler menekankan pemisahan antara kekuasaan agama dan negara, seperti Jeffersonian Democracy berdasarkan pandangan Thomas Jefferson dan Laïcité yang dipimpin oleh Emile Combe. Pemisahan tersebut dielaborasi lebih jauh oleh Linz[6], sekularisme dapat bersifat friendly maupun hostile (bersahabat atau tidak bersahabat) terhadap agama.

Hostile secularism merupakan bentuk agresif sekularisme yang menekankan pada pengerdilan wilayah kekuasaan agama pada batasan hubungan personal dan keluarga saja. Negara sebagai kekuasaan tertinggi membatasi keberadaan institusi pendidikan agama, penampilan simbol agama di ruang publik, sampai dengan pembatasan peribadatan keagamaan.

Berbeda dengan hostile secularism, friendly secularism hanya memberikan jarak terhadap negara dengan agama untuk meminimalisasi intervensi politik yang dilakukan oleh agama.

Kontestasi Teokrasi dan Sekularisme

Teokrasi dan sekularisme seolah-olah bersifat sebagai suatu pandangan biner yang berlawanan; Masing-masing pengusungnya memiliki pendapat yang negatif terhadap pandangan yang dianggap sebagai antitesis dari pandangan yang dimilikinya.


picture by Rama

Mengapa pendukung Teokrasi menolak Sekularisme?
  1. Adanya pendapat bahwa pemisahan yang dilakukan oleh kaum sekuler merupakan pembatasan kebebasan dan hak yang ada bagi mereka. Karena, menurut mereka, agama memiliki nilai, norma, serta aturan yang holistik sehingga tidak seharusnya dibatasi penerapannya pada sebatas hubungan personal dan keluarga saja. 
  2. Sekularisme dinilai membunuh identitas dan karakter yang mereka usung dengan menerapkan batasan-batasan penampilan simbol agama, baik secara total di hadapan publik maupun secara terbatas pada ruang-ruang tertentu. 
  3. Pemisahan antara kekuasaan agama dan negara dianggap sebagai bentuk pengerdilan dari kekuasaan ilahiah itu sendiri.
Mengapa pendukung Sekularisme menolak Teokrasi?
  1. Kejumudan (kemandekan) yang ada pada sifat agama itu sendiri. Kaum sekuler, yang pada umumnya merupakan pendukung demokrasi, menilai bahwa nilai, norma, dan aturan yang dibawa agama merupakan suatu hal yang statis yang tidak dapat diperdebatkan untuk memenuhi perkembangan kemasyarakatan yang ada. 
  2. Kekuasaan yang didasari pada suatu kekuatan abstrak merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima secara rasional. 
  3. Seringkali terjadi penyalahgunaan yang dilakukan kaum agamis dengan kekuasaan agamanya berdasarkan interpretasi yang menguntungkan rezim suatu golongan/pemerintahan yang mengusung bentuk agama tertentu.

Perkembangan Kontestasi dan Timbulnya Teror

Kontestasi tersebut berkembang secara menguntungkan terhadap pandangan sekularisme. Gerakan rasionalisme dan penyebaran paham demokrasi secara global merupakan dua dari beberapa motor penggerak peningkatan negara sekular.

Secara teknis, perkembangan sekularisme ditandai dengan ditandatanganinya deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada tahun 1776. Perlahan-lahan selama kurang lebih 300 tahun, sekularisme mulai berkembang dan diadopsi banyak negara, khususnya negara-negara yang pada awalnya menganut teokrasi atau religious dominion. Jatuhnya kekhalifahan Otoman (sekarang Turki) dan pembubaran kekhalifahan Sokoto (sekarang Nigeria) merupakan sedikit dari beberapa contoh dari bergesernya pandangan teokrasi menjadi sekularisme yang dialami oleh beberapa negara yang ada.

Dominasi pandangan sekularisme tersebut tentunya tidak terjadi secara damai begitu saja. Dominasi tersebut menyebabkan munculnya perlawanan demi perlawananan yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu dengan menggunakan teror. Gerakan terorisme tersebut dapat diobservasi setidaknya pada jaringan teroris Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah di Indonesia, National Liberation Front of Tripura di India, Iron Guard di Romania, dan sebagainya.

Perlawanan menggunakan teror setidaknya dapat dijelaskan dalam dua bagian.

Pertama, kaum agamis merasa termarginalkan. Hal tersebut mungkin saja dipandang oleh kelompok agamis sebagai ketidakbersahabatan ‘rezim’ pemerintahan sekuler terhadap pandangan mereka. Dan dapat dianggap oleh mereka sebagai ketiadaan jalur damai, khususnya dalam percaturan politik, untuk mencapai dan menyuarakan aspirasi mereka.

Bila dikaitkan dengan teori agresi, frustration-aggression theory dapat menjelaskan hal tersebut dapat menjadi pemicu rasa frustasi bagi kelompok agamis yang disebutkan di atas sehingga tidak menutup kemungkinan mereka menganggap bahwa teror merupakan jalan satu-satunya dalam menyuarakan hal aspirasi mereka.

Kedua, tensi tersebut dapat terjadi/diperparah dengan anggapan bahwa sekularisme merupakan produk asing yang menginvasi nilai dan norma lokal yang dianggap sudah terlebih dahulu ada. Invasi terhadap nilai dan norma lokal tersebut dianggap oleh kaum agamis sebagai bentuk stigmatisasi dengan pembunuhan karakter dan penghilangan identitas yang mereka anggap ideal dan sakral.

Hal tersebut sesuai dengan strain-and-deprivation theory yang menyatakan stigmatisasi sosial merupakan salah satu yang dapat memicu agresi (atau menjadi pemicu rasa frustasi yang juga dapat dihubungkan dengan frustration-aggression theory).

Sintesis Dua Pandangan: Penyeimbangan Agama dan Negara untuk Penanganan Terorisme Agama

Timbulnya kelompok dan aktivitas teror yang dilakukan kaum agamis terhadap negara sekuler menciptakan suatu pertanyaan baru. Bagaimanakah pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani teror tersebut? Setidaknya terdapat sebuah pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani teror tersebut, yaitu pendekatan teori integralistik yang dikemukakan oleh Wilbur Caldwell dan Dr. Soepomo.

Integralism (inggris: integral nationalism) menurut Caldwell[7]
Pandangan yang mendefinisikan bangsa sebagai suatu kesatuan organik. Perbedaan sosial kelas dan strata yang ada pada masyarakat heterogen merupakan suatu hal yang alamiah sehingga harus dipertahankan, bukan merupakan suatu hal yang harus diseragamkan. Oleh karena itu, bentuk pemerintahan yang terbaik untuk melayani masyarakat yang heterogen adalah pemerintahan yang dibentuk berdasarkan representasi kelompok dan golongan yang terhubung secara organik, bukannya representasi statis atas suatu bentuk ideologi tertentu.

Teori Integralistik atau Teori Kekeluargaan oleh Dr. Soepomo*
Negara dan bangsa adalah bentuk kesatuan organik. Negara tidak memihak pada kelompok manapun dan menjamin kerukunan serta semangat gotong royong antaranggota masyarakatnya. Teori integralistik tersebut mengusung kekeluargaan sebagai salah satu asasnya.
*pidatonya di hadapan peserta sidang BPUPKI[8] 



Bagaimanakah aplikasi teori integralistik terhadap hubungan agama & negara?

Teori integralistik dapat digunakan untuk menjembatani kebutuhan penyuaraan aspirasi antara kelompok agamis dan kelompok sekular, alih-alih memenangkan salah satu pihak saja, pemisahan yang dilakukan terhadap agama dan negara tidak dilakukan hanya semata-mata memisahkan agama dan negara.

Negara mengakomodasikan suatu ruang tertentu untuk agama sehingga agama dapat mempraktikan kekuasaannya dalam batasan tertentu. Sebagai contoh, Indonesia memberikan keleluasaan terhadap warga negaranya untuk memilih bentuk hukum agama/negara dalam perihal tertentu (seperti pewarisan) merupakan salah satu praktik teori integralistik yang menjembatani hubungan antara agama dan negara.

Otonomi daerah dan perlakuan khusus terhadap daerah istimewa merupakan contoh pembentukan representasi politis secara organik bagi kelompok agamis yang mengharapkan penerapan hukum agama. Hal tersebut menunjukan upaya penyeimbangan antara negara dan agama.

Dengan adanya penyeimbangan kekuasaan tersebut, khususnya dengan penyediaan jalur penyampaian aspirasi bagi kelompok agamis, pencetus rasa frustrasi yang dirasakan oleh kelompok agamis dapat diredam dan rekonsiliasi dapat dilakukan terhadap nilai dan norma ideal yang dimiliki mereka. Oleh karena itu, pendekatan dengan teori integralistik ini dapat dijadikan salah satu solusi dalam menangani terorisme agama yang terjadi karena adanya anggapan ketidakseimbangan antara kekuasaan agama dan negara.

***

Namun, pendekatan teori integralistik tidak sepenuhnya dapat berdiri sendiri dalam meminimalisasi kegiatan teror yang dilakukan oleh kaum agama. Pendekatan teori integralistik ini cocok dilakukan terhadap kelompok-kelompok agama yang tidak mengharapkan pemenuhan hukum agama sepenuhnya.

Kelompok-kelompok agamis yang sangat statis dan keras kepala untuk melakukan separatisme dan pembentukan negara dengan ideologi agama tertentu tentunya tidak dapat dijembatani oleh pendekatan ini, karena yang diharapkan oleh mereka bukanlah keseimbangan kekuasaan, melainkan perpindahan dominasi kekuasaan dari negara ke agama.



[1] “Agama.” http://bahasa.cs.ui.ac.id. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2013. Web. 8 Maret 2013.
[2] “Negara.” http://bahasa.cs.ui.ac.id. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2013. Web. 8 Maret 2013.
[3] Qutb, Sayyid. Social Justice in Islam. London: Octagon Books, 1977. Digital.
[4] Khomeini, Ruhollah. Islamic Government: Governance of the Jurist. London: Alhoda, 2002. Digital.
[5] Rushdoony, Rousas. The Institutes of Biblical Law. Craig: The Craig Press, 1973. Digital.
[6] Linz, Juanz. “The religious use of politics and/or the political use of religion.” Totalitarianism and Political Religions. Ed. Hans Maier. London: Routledge, 2004.102-119. Digital.
[7] Caldwell, Wilbur. American Narcissism: the Myth of National Superiority. New York: Algora Publishing, 2006. Digital.
[8] Mahifal. “Paham Integralistik / Kekeluargaan Indonesia”. http://bisikankalbu.files.wordpress.com/2008/11/8-paham-integralistik-kekeluargaan-indonesia.pdf

2 comments: