Selama beberapa dekade, masyarakat adat di Indonesia telah terlibat dalam perjuangan mandiri terhadap perampasan hak dan martabat mereka karena kebijakan, hukum, dan aktivitas negara.
Pada tahun 1999, masyarakat adat Indonesia mulai mengorganisasi diri. Lebih dari 200 perwakilan masyarakat adat dari seluruh Indonesia berkumpul di Kongres Masyarakat Adat Nusantara I atau AMAN I. Kongres ini diprakarsai oleh Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat (AMA Kalbar), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) dan mendapat dukungan kuat dari organisasi masyarakat adat regional lainnya dan jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kongres ini, yang diselenggarakan di jantung kota Jakarta, menarik liputan media besar dan menghasilkan pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN. Gayung bersambut, kata berjawab (untuk terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat).
Pada masa sebelum Kongres, banyak masyarakat adat yang telah berjuang untuk menyelamatkan tanah dan kehidupan mereka. Banyak yang tegas menolak upaya perusahaan dan pemerintah daerah untuk mengambil alih tanah mereka, beberapa berjuang tanpa mendapat perhatian.
Dimulai pada tahun 1988 dan berlanjut sampai hari ini, ratusan masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara berjuang melawan PT Inti Indorayon Utama (sekarang berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari), yang diberikan izin untuk membabat hutan dan mengembangkan perkebunan kayu untuk
pulp dan pabrik kertas. Sepuluh wanita yang dipimpin oleh Nai Sinta merintis perjuangan dalam membela tanah leluhur mereka. Tanah itu diam-diam dipindahtangankan ke PT Inti Indorayon Utama menggunakan tanda tangan palsu.
Pada kasus lain, pemuda dan tetua Dayak Simpang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat menolak pengembangan perkebunan kelapa sawit dan konsesi penebangan hutan atas tanah adat mereka. Di Kalimantan, Bentian Dayak, yang terkenal karena pengetahuan dan keterampilan dalam budidaya rotan mereka, berjuang melawan perusahaan kayu yang menebang hutan dan merusak kebun rotan mereka.
[i]
Langkah Awal
Menanggapi perjuangan lokal dan sikap negara yang otoriter, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Friends of the Earth Indonesia (WALHI) dan Wahana Lestari Persada (Walda)-Toraja memfasilitasi pertemuan pada tahun 1993 di Tana Toraja yang dihadiri sejumlah pemimpin masyarakat adat, seperti Nai Sinta dari Sumatera Utara, Petinggi Aris dari Simpang Hulu, LB Dingit dari Kalimantan Timur, Den Upa Rombelayuk dan Pak Sombolinggi dari Tana Toraja, Oom Ely dari Haruku, dan Tom Beanal dari masyarakat Amungme di Papua Barat. Pertemuan ini juga dihadiri oleh advokasi hak asasi manusia dan lingkungan (umumnya merupakan para pemuda adat) yang dengan para pemimpin adat kemudian mendirikan JAPHAMA.
Pertemuan tersebut juga menyepakati penggunaan istilah ‘masyarakat adat’ sebagai ekspresi umum untuk mengacu pada penduduk pribumi di Indonesia. Istilah ini, yang dikenal dan digunakan oleh banyak masyarakat adat di Indonesia, memiliki arti: masyarakat yang memiliki asal usul leluhur pada suatu wilayah geografis tertentu dan memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, masyarakat dan pengelolaan lahan. Istilah ini juga yang paling diterima secara sosial dan politik pada masa 1993 di bawah pemerintahan rezim Soeharto yang otoriter dan opresif.
Pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa kasus-kasus pelanggaran hak asasi masyarakat adat di Indonesia harus dihadapi dengan gerakan massa yang terorganisasi. Menyadari keterbatasan individu dan kelompok yang menghadiri pertemuan tersebut, disepakati bahwa prioritas akan diberikan untuk memperkuat gerakan dengan menyetujui bahwa setiap peserta wajib 'diam-diam' menyebarkan konsep, ketentuan, dan strategi advokasi kepada konstituen mereka sendiri. Selain itu, juga disepakati bahwa JAPHAMA sebaiknya tidak hanya menjadi lembaga formal yang berdiri sendiri tapi harus menjadi jaringan yang dinamis dengan mandat untuk mendukung pengembangan organisasi masyarakat adat dan internalisasi perhatian masyarakat adat dari berbagai LSM dan lembaga lain.
1993 dan seterusnya adalah era di mana semakin banyak organisasi masyarakat adat dan LSM advokasi masyarakat adat berdiri di seluruh Indonesia, selain yang sudah ada sebelumnya.
Di Sumatera Barat pemuda Mentawai mendirikan Yayasan Citra Mandiri, di Kalimantan Barat beberapa pemuda Dayak mendirikan Lembaga Bela Banua Talino, sedangkan di Kalimantan Timur Lembaga Bina Benua Puti Jaji didirikan. Hal serupa juga terjadi di Maluku dengan Baileo Maluku yang kemudian menjadi sebuah jaringan organisasi masyarakat adat dan LSM adat di Maluku Tengah dan Tenggara. Di Papua Barat pengacara muda mendirikan Lembaga Pengkajian Dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPPMA).
[ii]
Pada saat yang sama, beberapa LSM hak asasi manusia dan lingkungan yang berbasis di Jakarta mengangkat isu masyarakat adat sebagai prioritas kegiatan mereka, termasuk kelompok-kelompok seperti ELSAM (Institute for Human Rights Study and Advocacy) / Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia), WALHI, International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) / Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Selama periode 1996-1997, dua organisasi masyarakat adat regional pertama didirikan, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat dan JAGAT di Nusa Tenggara Timur. Dalam periode yang sama, sejumlah jaringan LSM tumbuh dan mengambil isu-isu masyarakat adat sebagai salah satu prioritas perhatian mereka. Sebut saja, JKPP, Konsortium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), Jaringan Tambang (JATAM) dan Jaringan Pesisir dan Laut (Jaring Pela).
Bertepatan dengan proses 'internal' dalam memperkuat gerakan masyarakat adat, pemerintah otoriter jatuh pada tahun 1998. Situasi ini memberikan ruang politik yang lebih terbuka bagi masyarakat sipil. Oleh karena itu, beberapa tokoh masyarakat adat dan advokasinya menyelenggarakan Kongres pertama pada tahun 1999.
Kongres kedua (AMAN II) diadakan pada bulan September 2003. Sudah menjadi kewajiban dan hak anggota AMAN untuk hadir di Kongres, dengan menunjuk satu orang atau lebih untuk mewakili masing-masing komunitas. Anggota AMAN adalah komunitas adat dan organisasi masyarakat adat di
tingkat lokal dan regional (merujuk ke distrik atau wilayah yang dibatasi secara adat dan ruang provinsial) yang beraliansi dengan AMAN. Seperti yang telah direncanakan, Kongres kedua ini dihadiri oleh lebih dari 1.000 perwakilan anggota AMAN. Terdapat 927 komunitas yang terdaftar di AMAN sekarang, 777 diantaranya adalah anggota terverifikasi. 18 organisasi masyarakat adat di tingkat lokal dan 11 di tingkat regional beraliansi dengan AMAN. Harapan pada tahun 1999 bahwa semua anggota akan menunjukkan kapasitas, kinerja, dan, prestasi organisasi adat terpenuhi. Demi persiapan untuk Kongres kedua, 12 pertemuan adat regional (provinsi) dan banyak pertemuan lokal lainnya diadakan sebagai sarana konsolidasi organisasi dan untuk memilih wakil-wakil untuk Kongres.
Rangkaian kegiatan menuju AMAN II dilakukan melalui pendekatan refleksi-konsolidasi. Tujuan utamanya adalah untuk:
- mengambil pelajaran dari pelaksanaan keputusan AMAN I selama 4 tahun terakhir,
- mengkonsolidasikan organisasi masyarakat adat dan mengembangkan sinergi semua tindakan dari masyarakat adat pada tingkat regional
- memobilisasi dukungan yang luas untuk gerakan masyarakat adat melalui penguatan dan perluasan aliansi dengan kelompok-kelompok pro-demokrasi lainnya,
- mengembangkan struktur organisasi yang lebih responsif terhadap perubahan situasi dan lebih efektif dalam melayani anggota, dan
- mempertajam platform gerakan dengan mengembangkan pedoman strategis untuk kerangka kerja organisasi dan program yang mengakomodasi aspirasi dan tuntutan masyarakat adat di Indonesia.
Semua tujuan ini diarahkan untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi gerakan masyarakat adat dalam transformasi sosial di Indonesia. Menyadari tantangan dan tujuan utama, Kongres kedua melahirkan beberapa keputusan penting: struktur baru Dewan Nasional dengan area kerja yang ditentukan, dan beberapa Koordinator, peningkatan anggaran rumah tangga, resolusi politik, dan program.
Selain koordinasi lokal, regional dan nasional, AMAN juga mengembangkan hubungan dengan berbagai organisasi masyarakat adat internasional. Di Asia, AMAN menjadi anggota dari Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) / Pakta Masyarakat Adat Asia. Pada KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan (2002), AMAN bergabung dengan Indigenous Peoples Caucus (Masyarakat Adat Kaukus), salah satu kelompok masyarakat sipil yang paling terorganisir dan efektif. AMAN juga telah bekerja sama dengan International Working Group on Indigenous Affairs (IWGIA) / Kelompok Kerja Internasional untuk Urusan Adat, baik untuk mendukung upaya mereka maupun sebagai bentuk langkah bergabung dengan advokasi internasional. Selain mengikuti jaringan internasional sebagai sebuah kelompok, AMAN juga memfasilitasi partisipasi anggotanya dalam berbagai forum dan jaringan internasional.
Kritik Internal dan Eksternal
Adanya perjuangan dan pemberdayaan masyarakat adat melalui proses pengorganisasian sebagaimana dicontohkan oleh AMAN tidak serta-merta membuat masalah mereka terpecahkan. Proses ini dianggap sebagai alat pengembangan dalam memberdayakan diri mereka untuk perjuangan kolektif. Upaya ini tidak kebal dari kritik internal dan eksternal.
Setelah Kongres pertama, Dewan Perwakilan AMAN bertemu secara rutin setiap enam bulan. Pertemuan digunakan untuk refleksi internal, pembahasan isu-isu baru, dan perencanaan kegiatan selanjutnya. Selain itu, AMAN dan LSM pendukung mengadakan pertemuan refleksi bersama pada tahun 2001. Beberapa masalah yang diidentifikasi dalam pertemuan tersebut, misalnya, masalah tentang tingkat perkembangan yang berbeda dari organisasi masyarakat adat yang memiliki kebutuhan yang berbeda, adanya sikap yang keliru kepada sekretariat AMAN yang memperlakukan mereka sebagai dewa atau juru selamat, dan adanya kebutuhan kesadaran bahwa terdapat kecenderungan pemanfaatan isu 'masyarakat adat' untuk merevitalisasi feodalisme.
AMAN bekerja sama dengan World Agro Forestry Center (ICRAF) / Pusat Agro Kehutanan Dunia dan Forest Peoples Program (FPP) / Program Masyarakat Hutan pada tahun 2001 mengembangkan latihan menarik untuk menguji kekuatan organisasinya. Latihan yang menantang pernyataan "kuat" AMAN sendiri:
"Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara"
Pernyataan kuat ini tidak hanya mendesak pemerintah untuk merespon tuntutan masyarakat adat, tapi juga memunculkan perdebatan penting dalam masyarakat tentang
pengakuan yang bagaimana yang sebenarnya diinginkan masyarakat adat dari pemerintah.
Pertanyaan lebih jauh:
- Jika negara tidak mengakui hak-hak masyarakat adat bagaimana tepatnya mereka kemudian menggunakan hak-hak tersebut?
- Bagaimana seharusnya hukum nasional dibentuk untuk mengakomodasi keragaman adat dan aspirasi dari 500 masyarakat adat yang berbeda?
- Apa jenis pengakuan hukum atas hak tanah yang diinginkan masyarakat adat?
- Siapa yang akan bernegosiasi atas nama masyarakat adat di masa depan?
- Bagaimana masyarakat mengorganisasi mereka sendiri?
- Bagaimana mereka akan berinteraksi dengan pemerintah?
Latihan ini bertujuan untuk memfasilitasi diskusi lebih mendalam mengenai pertanyaan-pertanyaan pada beberapa komunitas masyarakat adat dalam lingkaran AMAN. Ini adalah suatu bentuk tanggapan terhadap kebutuhan untuk mengklarifikasi banyak tuntutan AMAN.
Mungkin tuntutan-tuntutan tersebut sudah jelas dari sudut pandang masyarakat adat. Namun, penjelasan yang disetujui dan dipahami bersama mengenai tuntutan-tuntutan tersebut masih menunggu untuk dibakukan.
Catatan Kaki
[i] Untuk informasi lebih lanjut mengenai perjuangan masyarakat adat, baca Abdias Yas, "Menapaki Jejak Pejuan Hak Adat," Seri Kumpulan Kasus No. 01, (Pontianak, Lembaga Bela Banua Talino, 2003); Theo P.A. van den Broek ofm, et al, Memoria Passionis di Papua. Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia Gambaran 2000 (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Keuskupan Jayapura and Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta 2001); Janis Alcorn, "An Introduction to the Linkages between Ecological Resilience and Governance" in Janis B. Alcorn and Antoinette G. Royo, eds.. Indigenous Social Movements and Ecological Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia (Biodiversity Support Program, Washington, D.C., 2000); The Indigenous World 1997-1998 (IWGIA, Copenhagen, 1998) pp. 216-220; and websites of Down to Earth (www.dte.org).
[ii] Terdapat banyak organisasi-organisasi lain yang telah berjuang dalam mengangkat isu masyarakat adat yang tidak disebutkan di sini kareena kurangnya informasi.
Sumber
Artikel ini dikutip dari tulisan Sandra Moniaga, From Bumi Putera to Masyarakat Adat: a Long and Confusing Journey, yang dipresentasikan pada Workshop Adat Revivalism in Indonesia's Democratic Transition, di Batam pada 26-27 Maret 2004, diselenggarakan oleh Asia Research Institute, University of Singapore .
Sandra Moniaga adalah Executive Coordinator HuMa (the Association for Community and Ecologically-based Law Reform) dan peneliti PhD dari Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development (Leiden University).
http://www.hurights.or.jp/archives/focus/section2/2004/06/emerging-indigenous-peoples-movement-in-indonesia.html
Gambar:
http://tajuk.co/2013/03/aliansi-masyarakat-adat-nusantara-desak-sahkan-ruu-adat/masyarakat-adat_170313_khairuddin-safri-3/