Mau tau ekspektansi hidup kamu? Cobalah tes simpel berikut ini.
Mulai dari posisi berdiri. Lalu, duduklah di lantai, lalu berdiri lagi dengan bantuan sesedikit mungkin. Eits, ga boleh pake tangan ya!
Gimanaa.. Susah? Gampang?
Menurut sebuah studi di European Journal of Preventive Cardiology, kemampuan kamu (atau ketidakmampuan) untuk melakukan tes ini dengan mudah dapat memprediksi berapa lama kamu akan hidup, angka harapan hidup seseorang.
Para peneliti meminta lebih dari 2000 orang berusia 51 hingga 80 tahun untuk melakukan “sitting-rising test” (Bahasa Indonesianya, tes duduk bangun, hahaha. Jelek sekali terjemahan saya). Peneliti kemudian memberi skor ke tiap orang dalam skala 0 – 10..
5 poin untuk kemampuan duduk dari posisi berdiri, 5 poin lagi untuk kemampuan berdiri dari posisi duduk tanpa bantuan apapun, seperti tangan, lengan, dan lutut. Tiap kali peserta menggunakan bantuan tadi, 1 poin dikurangi.
Lebih jelasnya, simak dulu video di bawah ini tentang perhitungan skornya.
Penulis penelitian ini (Claudio Gil Soares de Araújo, Ph.D., profesor di Gama Filho University di Rio de Janeiro) menyampaikan bahwa ga usah khawatir soal seberapa cepat kamu bisa menyelesaikan tes ini. Yang harus difokuskan adalah bagaimana menyelesaikan tes ini dengan bantuan sesedikit mungkin.
Saya sendiri udah coba. Pas dari posisi berdiri ke duduk, no support at all, yeay skor saya 5. Pas dari duduk ke berdiri, saya menggunakan bantuan tangan sekali, skor 4 ^^
***
Apakah arti dari skor ini?
6,3 tahun kemudian, 159 orang peserta penelitian ini meninggal, mayoritas adalah yang paling kesulitan melakukan tes ini. Bahkan, timnya pak Araújo ini menemukan bahwa jika seseorang memperoleh skor 0 – 3, orang ini akan memiliki 5 hingga 6 kali risiko kematian lebih tinggi daripada orang-orang yang meraih skor 8 – 10.
Wah, cukup surprised juga ya gimana tes sesederhana ini bisa memprediksi lama harapan hidup seseorang. Kok bisa?
Jadi, bagaimana kemampuan untuk bergerak dari berdiri ke duduk berkorelasi dengan umur seseorang? Ini semua karena kebugaran sistem otot dan kerangka tubuh (fleksibilitas, keseimbangan, kekuatan otot, dan koordinasi tubuh) merupakan indikator penting kesehatan secara keseluruhan, dan memiliki pengaruh positif pada harapan hidup.
Skor tinggi pada tes ini bisa mencerminkan kapasitas kita untuk berhasil melakukan berbagai aktivitas sehari-hari, seperti membungkuk untuk mengambil koran atau kacamata yang jatuh ke bawah tempat tidur atau meja. Dan tentunya, ketidakmampuan untuk duduk dan bangkit dari lantai mencerminkan survival rate yang rendah, terlepas dari usia, jenis kelamin, dan berat seseorang.
Bahkan pak Araujo bilang begini, "Orang-orang cenderung fokus pada latihan atau olahraga yang bersifat aerobik atau kardio. Penting sih, tapi seharusnya tidak menjadi prioritas satu-satunya dalam berolahraga," kata Araujo.
Kalo kamu lihat kenapa umur peserta yang ikut penelitian ini adalah kelompok lansia, sepertinya supaya lebih cepat keliatan kali hasil tesnya. Dibandingkan dengan mengikutsertakan orang usia 20 – 30, lama nunggu hasil tesnya. Hehehe. Dan tim peneliti studi ini menggunakan analisis yang disesuaikan untuk meminimalkan error karena variabel berat dan usia.
***
Tenang, tenaang..
Jika kamu tidak meraih skor tinggi, jangan panik.. Bukan berarti kamu akan wafat dalam waktu dekat :p
Tapi jadikanlah ini sebagai reminder buat kamu untuk lebih melatih lagi fleksibilitas tubuh. Fleksibilitas tubuh dapat dilatih dengan latihan/olahraga otot. Nih, intip gerakan yang melatih fleksibilitas otot yang gampang kok, dan bisa dilakukan dalam 3 menit: 3-minute flexibility plan. Atau olahraga yang lagi ngetren sekarang, yoga, pilates, dll.
Artikel yang saya tulis sebelumnya mengenai sistem pendidikan Finlandia: Lupakan Amerika, Pendidikan di Finlandia yang Terbaik Sedunia, membuat saya banyak berpikir (maklum saya pemikir orangnya). Artikel tersebut menyadarkan saya betapa destruktifnya efek yang ditimbulkan oleh sistem pendidikan yang mengadopsi konsep kompetisi & kapitalisme/komersialisasi. Ga usah di Indonesia, di Amerika, bahkan mungkin di Jepang pun, sistem pendidikannya memakai konsep kompetisi & komersialisi.
Dampak buruknya sangat gampang ditemukan di keseharian kita, di diri saya pribadi, di orang-orang sekeliling saya. Salah bentuk akibat sistem yang destruktif.
Belajar sistem kebut semalam. Menghafal super lengkap dan banyak. Habis ujian, lupa! Ga ada ilmu yang didapet, ga dapat esensinya. Lulus, nilai tinggi, cari kerjaan mengandalkan gelar, tapi ilmu kopong…
Yang pintar 'harus' masuk fakultas kedokteran lah, engineering lah. Yang biasa aja, harus masuk ini lah. Yang 'bego', pilihan terbatas.
Yang anak ga boleh ikut les dan ikut lomba tarilah, karena bikin capek, ganggu konsentrasi belajar.
Yang anak ga boleh jadi atlet, karena menguras energi, ganggu konsentrasi sekolah.
Yang si anak ga boleh jadi zoologist lah, karena dinilai tidak menguntungkan. Mending jadi engineer lah. Beneran, saya punya teman, bercita-cita menjadi penjaga kebun binatang atau penjaga konservasi binatang, entah sebagai zoologist atau dokter hewannya. Sungguh mulia bukan. Tapi dilarang sm orang tuanya karena 'dianggap' tidak profitable & tidak punya masa depan yang cerah. Sampai dibilang ‘ntar kamu nikah sama gorila’ -__-"
Semuanya karena mau ngejar memenuhi standar, cetakan cetakan cetakan! Standar/Cetakan absurd! Cetakan duit…
Kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia dan Amerika itu gagal karena sistem ini mencoba membuat suatu cetakan bagi anak didik, bukan membiarkan anak didik berkembang maksimal sesuai potensinya masing-masing. Yang ditekankan pada pendidikan bukanlah suatu konsepsi pengetahuan, tapi struktualisasi sistem pendidikan dan hasil didikan.
Sistem pendidikan di negara, seperti Indonesia dan Amerika, itu ironis karena saking kapitalisnya sampai lupa kenapa sistem komunis tumbang. Sistem komunis tumbang karena terlalu banyak komando dan tidak membiarkan warga dan struktur-struktur di dalamnya berkembang dengan bebas
Nah, sistem pendidikan "kapitalis" ini ironis karena system ini berusaha untuk "mencetak" kemampuan berdasarkan sistem pasar. Sistem ini menafikan kenyataan bahwa tiap anak itu terlahir dengan keinginan dan selera yang berbeda-beda. Dalam sistem pendidikan kapitalis yang gagal ini, semua anak apapun inputnya, outputnya harus bisa disamaratakan.
Pendidikan itu tidak bisa seperti kita membangun gedung, di mana struktur-struktur ditancapkan dalam balok-balok yang tidak berhubungan dan diharapkan dapat berdiri tegak dari bebannya saja, layaknya orang meletakkan beton di bangunan.
Para pendidik kuno memiliki sebuah konsepsi bahwa anak-anak itu "tabula rasa", sebuah kertas putih kosong yang siap di tuliskan. Padahal, kenyataanya anak-anak itu kertas berwarna yang sudah tergambar pola di atasnya, tidak bisa langsung asal corat-coret saja, sering jadi tidak bermakna nantinya (via Thomas Adi Nugroho Chaidir).
Berikut salah satu potret pendidikan jaman sekarang. Satu kelas terdiri dari siswa gajah, ikan, burung, monyet, dan lain-lain. Eh, ujian disuruh manjat pohon, biar adil katanya.
"Supaya adil, semua siswa harus mengikuti ujian yang sama. Panjat pohon itu."
Jelas, siswa 'monyet' akan unggul. Sistem ini menafikan fakta bahwa tiap siswa itu memiliki bakat, minat dan potensi yang unik. Sistem ini hanya memberikan perhatian pada siswa bintang. Siswa lain yang tidak bisa keep up (mengikuti), dibiarkan berusaha sendiri. Ditambah lagi, ujian standar/cetakan umum bertubi-tubi yang absurd yang hanya ngena ke bakat/potensi siswa 'monyet'. Siswa 'gajah' mana bisa keep up.
Mental anak-anak dapat dihancurkan oleh evaluasi terus-menerus dan membuat anak-anak ini sendiri percaya bahwa mereka tidak cukup baik. Ketika anak-anak dapat unggul pada apa yang mereka dapat lakukan dengan baik, bukan diukur utk memenuhi cetakan, mereka dapat menghasilkan performa terbaik. Anak-anak harus diberikan pendidikan sehingga mereka dapat berkembang sesuai dengn bakat mereka.
Tujuan pendidikan seyogianya dapat membentuk siswa menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri mereka sendiri dan dapat bernavigasi dalam kehidupan tanpa berpikir bahwa mereka lebih 'pintar' atau sebaliknya, tidak berharga.
Siapa yang tahu kalo si anak ternyata berpotensi menjadi ilmuwan/zoologist terkenal, jadi atlet berprestasi, menjadi penari duta negara. Alih-alih mengembangkan potensi uniknya, si anak end up (berakhir) menjadi PNS malas yang kerjanya makan duit rakyat. Alih-alih mengembangkan potensi uniknya, si anak end up (berakhir) menjadi nobody (bukan siapa-siapa) as in pekerja kantoran yang mengubur potensi gemilangnya di balik meja kantor.
Anak punya cita-cita tuh didukung dan dibimbing. Ini belum apa-apa sudah diteror "ntar kamu nikah sama gorila". Dari kecil aja mental anak udah dihancurkan.
***
Nah, dampak negatif lain dari bentukan sistem gagal ini adalah realita bahwa banyak orang benci pekerjaannya. Banyak yang merasa ke-trap (terjebak) dengan pekerjaannya sekarang.
Saya ulas di postingan blog saya yang lain:Mengapa Begitu Banyak Orang Benci Pekerjaan Mereka? Artikel ini cocok dibaca bagi yang sedang mengalami krisis identitas karir. Hehehe. Artikel ini juga cocok dibaca dan jadi bahan renungan bagi orang tua yang peduli dengan pendidikan dan masa depan anaknya.
Saran saya kepada orang tua: Jangan didik anakmu untuk menjadi kaya, tapi didiklah anakmu untuk menjadi happy, bahagia :) Sehingga ketika mereka tumbuh dewasa, mereka akan menghargai value (nilai/esensi) sebuah hal, bukan menilai dari harganya.
Kenapa mendidik anak untuk bahagia menjadi penting? Mengutip perkataan Richard Branson (pendiri Virgin Group): "Parameter terbaik untuk mengukur kesuksesan? Kebahagian... Lakukanlah hal yang membuatmu senang, lakukan dengan baik, dan uang akan datang."
Richard Branson, founder Virgin Group (induknya Air Asia, maskapai Virgin America, label rekaman raksasa Virgin Record, dan masih banyak lagi), mengatakan bahwa parameter terbaik untuk mengukur kesuksesan adalah kebahagian.
Uang adalah produk sampingan dari goals yang lebih besar bermakna, seperti passion, kegemaran dan kebijaksanaan. Lakukanlah hal yang membuatmu senang, lakukan dengan baik, dan uang akan datang.
Seorang mantan banker Goldman Sach (perusahaan perbankan raksasa Amerika) mendefinisikan kembali makna dari 'kekayaan' dan apa yang disebut 'kaya'.
Jika Anda punya aset plus penghasilan pasif yang cukup untuk memenuhi biaya lifestyle pribadi sepanjang hidup Anda, dan uang itu memungkinkan Anda untuk mengerjakan sesuatu yang Anda suka (tanpa mempedulikan kompensasi), maka Anda disebut kaya.
Jika Anda suka memberikan makan pada kaum tak punya, dan punya pemasukan pasif yang cukup untuk menghidupi diri anda, maka anda sudah disebut kaya.
Jika anda suka mengajarkan anak-anak sampai ke pelosok negeri, dan punya pemasukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Anda, maka anda kaya.
Jika anda seorang pemilik warung, pemasukan yang anda punya cukup menghidupi anda dan keluarga, anda senang selalu bisa berada di rumah dan bercengkrama dengan keluarga, maka anda kaya.
Jika anda seorang nelayan, dengan kapal tidak terlalu besar, kru tidak terlalu banyak, anda senang karena ikan yang ditangkap cukup untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, memungkinkan anda pulang sebelum senja, memiliki waktu bermain dengan anak, maka anda kaya.
Jika kebahagiaan terbesar dalam kehidupan anda terdiri dari membaca novel dan menulis memoar Anda setiap hari, dan Anda bisa hidup cukup murah untuk membuat itu terjadi selama sisa hidup Anda, maka Anda kaya.
***
Jadi, bagi Anda yang memiliki pekerjaan dengan gaji tinggi dan pengisap jiwa: Meskipun Anda mungkin memiliki rumah atau apartemen mewah dan pakaian desainer ternama, Anda tidak benar-benar kaya jika Anda membenci pekerjaan Anda.
Salah satu alasan kenapa banyak orang dengan pendidikan universitas bagus benci pekerjaan mereka adalah mereka mengambil jalur karir konservatif atau berorientasi pada mendaki tangga organisasi/korporat ketika mereka muda (misalnya sehabis lulus kuliah) dan tidak pernah meencoba mengganti jalur.
Ketika mereka pertama kali memilih karir mereka di umur sekitar 22 (kurang lebih):
mereka ga tau apa yang mereka inginkan di hidup mereka
mereka masih memiliki pandangan yang sempit terhadap pilihan karir yang tersedia untuk mereka
mereka merasa butuh menghasilkan duit, karena mereka independen dari orang tua mereka untuk pertama kalinya
mereka lebih condong tertarik pada pekerjaan yang sudah memiliki kredibilitas dengan target2 yang telah ditetapkan, seperti yang mereka selalu dapatkan di bangku sekolah
Lalu, setelah menggeluti profesi ini selama 7-10 tahun, mereka merasa terjebak; mereka ga tau apa yang harus dilakukan selanjutnya, bagaimana caranya berubah. Mereka bagus secara finansial dan merasa terlalu banyak risiko kalo ganti jalur karir. Akhirnya mereka begitu terus sampai akhir hayat.
Fenomena ini sangat umum sekali, banyak ditemukan di berbagai profesi, dari pengacara, banker, bahkan guru.
Tulisan tentang hebatnya sistem pendidikan di Finlandia mungkin sudah basi. Tapi beberapa waktu lalu saya ada membahas pendidikan Finlandia ini bersama seorang teman. Dan saya melihat belum ada tulisan Bahasa Indonesia yang membahas lebih dalam mengenai mutu pendidikan dan sistem pendidikan Finlandia. So, here we go..
***
Popularitas Finlandia
Finlandia dulunya terkenal sebagai negara produsen raksasa handphone, Nokia. Kini, popularitas Nokia meredup karena pasaran smartphone dirajai oleh iPhone dan Android. Walaupun Nokia sekarang sudah punya produk smartphone berbasis Windows Phone, tapi masih belum bisa menyamai dominasi iPhone dan Android.
Namun, belakangan Finlandia telah menarik mata dunia melalui survei-survei global mengenai kualitas hidup (Newsweek menasbihkan Finlandia sebagai negara dengan kualitas hidup No.1 di dunia tahun 2010) dan sistem pendidikan nasional Finlandia telah menerima banyak pujian dan pengakuan karena di beberapa tahun belakang pelajar-pelajar Finlandia mendapatkan skor tes tertinggi sedunia.
Sorotan dunia ke sistem pendidikan nasional Finlandia berawal dari survei PISA. Survey ini dilakukan setiap 3 tahun sekali oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD/ Organisasi untuk Kerja Sama dan Perkembangan Ekonomi). Survei ini membandingkan pelajar usia 15 tahun dari berbagai negara pada bidang baca-tulis, matematika, dan sains.
Finlandia meraih peringkat hampir teratas pada ketiga kompetensi tersebut pada semua survei di tahun 2000, sejajar dengan pelajar super jenius dari Korea Selatan dan Singapura. Pada survei tahun 2009, Finlandia agak terpeleset sedikit, di mana pelajar dari Shanghai, China meraih skor terbaik, tapi pelajar Finlandia tetap nyaris teratas.
Amerika Serikat saja tidak masuk 10 besar. Indonesia? Indonesia masuk zona degradasi cyiin.. alias zona bawah. Intip aja di sini. Saya mencoba mencari hasil survei tahun 2012, tapi sepertinya belum dirilis pada saat tulisan ini dibuat.
Dibandingkan dengan stereotipe model pembelajaran Asia Timur (murid dijejali hafalan yang super buanyak super lengkap dan perlu waktu berjam-jam untuk berhasil menghafalkannya di luar kepala), keberhasilan Finladia sangat menarik. Sekolah-sekolah di Finlandia sangat sedikit memberikan PR (tidak lebih dari 1/2 jam waktu pengerjaan) dan lebih banyak melibatkan siswanya dalam aktivitas yang lebih kreatif. Hal ini lah yang membuat Finlandia kini sering menjadi tujuan studi banding oleh delegasi asing dari berbagai belahan dunia.
Hanya ada sedikit sekolah independen di Finlandia, dan bahkan semuanya dibiayai pemerintah. Tidak ada yang diperbolehkan untuk membebankan biaya sekolah. Tidak ada universitas swasta. Dengan kata lain, pelajar-pelajar di Finlandia bersekolah di sekolah negeri, dari preschool hingga Ph.D.
Hal ini sungguh jauh berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya. Di Amerika Serikat, biaya sekolah SMA swasta saja bisa mencapai $35,000 selama setahun.
Di Indonesia sendiri, untuk masuk TK saja, orang tua murid harus merogoh duit hingga 10 juta rupiah, hanya untuk uang pangkal. Uang kuliah? Hehehe. Pas jaman saya masuk kuliah (2007), uang pangkal sekitar 25 juta. Uang semester saya masih cukup terjangkau saat itu, 1,5 juta. Uang kuliah junior di bawah saya (2008 ke atas) semakin melejit mahal. Dari 2,5 juta hingga 7,5 juta. Terakhir, saya tanya teman saya yang masih berkuliah semester 6 di universitas yang sama, uang semesternya adalah 5 juta rupiah. Itu universitas negeri lho. Hehehe. Apa kabar universitas swasta? Adik saya yang masuk universitas swasta jurusan kedokteran gigi, biaya kuliahnya mencapai 200 jutaan. Hiiik.
2. Tidak Ada Ujian Standar
Menurut Sahlberg, Amerika (dan negara lain yang menerapkan komersialisasi pendidikan, termasuk pendidikan di Indonesia, menurut saya) selalu terobsesi dengan pertanyaan berikut: Bagaimana cara memantau kinerja siswa jika tidak diuji secara konstan? Bagaimana bisa meningkatkan pengajaran jika tidak ada pertanggungjawaban ke guru-guru yang payah atau tidak memberikan penghargaan pada guru yang baik? Bagaimana cara menciptakan kompetisi dan melibatkan sektor swasta? Bagaimana cara menciptakan variasi pilihan sekolah kepada orang tua/pelajar?
Jawaban dari realita Finlandia tampaknya bertentangan dengan mindset orang Amerika ataupun para reformis pendidikan lainnya.
Finlandia tidak memiliki ujian nasional pada tiap jenjang pendidikan. Yang ada hanyalah Ujian Matrikulasi Nasional yang diambil pada jenjang sekolah menengah atas yang bersifat 'sukarela'.
Wajib belajar di Finlandia sendiri adalah antara usia 7 - 16 tahun. SD 6 tahun, SMP 3 tahun. Setelah lulus SMP, siswa memiliki pilihan: 1. boleh langsung masuk dunia kerja atau 2. masuk sekolah persiapan profesi atau gimnasium (sekolah menengah atas). Sekolah menengah atas ini setara dengan jenjang SMA di Indonesia. Lulusan sekolah menengah atas ini nantinya bisa lanjut lagi ke politeknik ataupun universitas. Pada intinya, tidak ada UN SD dan SMP. Dan mungkin UTS dan UAS lainnya.
3. Besarnya Tanggung Jawab Guru
Kalo ga ada ujian, bagaimana cara mereka mengukur kinerja pendidikannya? Guru-guru di sekolah negeri Finlandia mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menilai siswa satu kelas menggunakan tes independen yang mereka ciptakan sendiri. Semua anak mendapatkan kartu rapor tiap akhir semester, tapi rapor ini berdasarkan penilaian individu oleh tiap guru. Secara berkala, Menteri Pendidikan memantau kemajuan nasional dengan menguji beberapa sampel kelompok dari sekolah yang berbeda.
Sistem ini memungkinkan dihasilkannya penilaian yang sangat spesifik ke kemampuan tiap individu siswa. Bukan sistem penilaian umum yang mungkin kurang dapat menjangkau kemampuan spesifik tiap siswanya. Guru dapat mengeluarkan kreatifitasnya untuk memberikan perhatian khusus ke tiap siswa. Guru jadi punya tanggung jawab dan peran yang lebih besar.
Kadang seorang guru tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu siswanya tapi dibatasi oleh sistem sekolah yang menyatakan bahwa lebih penting untuk bergerak lanjut mengikuti kurikulum yang ada daripada memperlambat "hanya demi" siswa-siswa yang membutuhkan waktu tambahan dalam menerima pelajaran.
Guru dan staf administrasi sekolah di Finlandia memiliki martabat/gengsi yang tinggi, gaji yang layak, dan banyak tanggung jawab. Gelar Master (S2) diperlukan untuk menjadi guru. Program pelatihan guru di Finlandia adalah salah satu sekolah profesional yang paling selektif di negara ini. Jika terdapat guru yang performanya buruk, tanggung jawab kepala sekolah untuk menangani hal tersebut.
4. Kurikulum yang Fleksibel
Konsep pendidikan Finlandia tidak menegakkan kurikulum pendidikan di mana setiap sekolah "harus mengajarkan kurikulum yang sama dengan metode yang sama pada jadwal yang sama." Kementerian Pendidikan meluncurkan "Kurikulum Dasar" yang fleksibel, semacam panduan umum mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dan tujuan yang harus dicapai di setiap tingkat kelas.
Kurikulum Dasar ini berlaku sebagai dasar untuk setiap sekolah saat mereka mempersiapkan kurikulum sendiri, di mana mereka dapat berkreasi menekankan pada pedagogi tertentu, pendidikan nilai tertentu (misalnya, sekolah hijau), keterampilan (seni, olahraga, bahasa), atau isu-isu lokal (misalnya, sekolah multikultural).
Setiap kelas difasilitasi hingga 3 orang guru. Apa yang guru pendidikan pelajari dari universitas memberi mereka berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan sesuka mereka. Keanekaragaman dipandang sebagai kekuatan yang nyata dengan tidak mengisolasi siswa yang berbakat (dan/atau yang kaya) ke sekolah swasta seperti yang terjadi di Amerika atau di Indonesia, di mana kebanyakan siswa pintar dan kaya akan lebih cenderung masuk sekolah swasta bergengsi.
Para pelajar di Finlandia sangat menikmati belajar, selalu rindu sekolah, tidak rela tidak sekolah hanya karena libur ekstra atau sakit. Bisa dikatakan guru lah kunci keberhasilan dari sistem sekolah Finlandia, dan individualitas yang diperbolehkan dalam kelas. Para guru melihat siswanya sebagai individu dengan kebutuhan yang berbeda: fokus pada masing-masing anak dan kekuatan serta problem tiap anak.
Sila intip suasana belajar di kelas sekolah Finlandia yang relaks di video ini.
5. Tidak Ada Kompetisi
Sistem pendidikan Finlandia juga tidak mengenal namanya kompetisi. Ga ada main peringkat, ranking-ranking-an, juara 1 juara 2 dan seterusnya. Tidak ada daftar sekolah terbaik atau guru terbaik di Finlandia. Pendorong utama dari kebijakan pendidikan bukanlah persaingan antar guru dan antar sekolah, tapi KERJA SAMA .
Tidak adanya persaingan pada pendidikan publik di Finlandia sehingga guru yang terbaik tidak dapat 'dicuri' untuk bekerja bagi sektor swasta. Mereka tidak mengukur prestasi hanya untuk memberi label pada siswa.
Bahkan bisa dibilang, Finlandia memandang kompetisi dalam dunia pendidikan merupakan konsep yang destruktif.Mental anak-anak dapat dihancurkan oleh evaluasi terus-menerus dan membuat anak-anak ini sendiri percaya bahwa mereka tidak cukup baik. Bagi Finlandia, ketika anak-anak dapat unggul pada apa yang mereka dapat lakukan dengan baik, bukan diukur untuk memenuhi standar, mereka dapat menghasilkan performa yang terbaik. Anak-anak harus diberikan pendidikan sehingga mereka dapat berkembang terlepas dari bakat mereka.
Fungsi pendidikan seyogianya dapat membentuk siswa menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri mereka sendiri dan dapat bernavigasi dalam kehidupan tanpa berpikir bahwa mereka lebih 'pintar' atau sebaliknya, tidak berharga. Oiya, siswa dengan development disorder ataupun penyandang cacat lainnya diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lainnya lho.
Siswa dengan development disorder/penyandang cacat lainnya diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lain
6. Variasi Pilihan Sekolah yang Sedikit
Di sini, orang tua sibuk mencarikan sekolah terbaik untuk anaknya, masuk sekolah swasta yang mentereng lah, universitas negeri di pulau Jawa. Di Finlandia, pilihan sekolah tidak lagi menjadi prioritas utama. Pilihan sih ada, tapi ya variasinya sama aja.
Puluhan tahun lalu, ketika sistem sekolah Finlandia sangat membutuhkan reformasi, tujuan dari program yang diterapkan Finlandia, yang mengantarkan Finlandia pada kesuksesan saat ini, bukanlah mengejar keunggulan akademis (excellence), tapi KESETARAAN(equity).
Sejak 1980-an, pendorong utama kebijakan pendidikan Finlandia adalah pemikiran bahwa setiap anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, terlepas dari latar belakang keluarga, pendapatan, atau lokasi geografis. Pendidikan utamanya bukanlah cara untuk menghasilkan pemain bintang, tetapi sebagai alat untuk meratakan kesenjangan sosial.
Dalam pandangan Finlandia, sekolah harus sehat, lingkungan yang aman untuk anak-anak. Hal ini dimulai dengan yang dasar. Finlandia menawarkan semua murid makanan sekolah gratis, akses mudah ke perawatan kesehatan, konseling psikologis, dan bimbingan individual siswa.
Malahan, karena keunggulan akademis bukanlah prioritas khusus bagi Finlandia, ketika para pelajarnya meraih skor begitu tinggi pada survei PISA pertama pada tahun 2001, banyak warga Finlandia mengira, "Ah, ngaco tuh hasil survei nya". Namun, hasil tes PISA selanjutnya mengkonfirmasi bahwa Finlandia (tidak seperti, katakanlah, negara-negara serupa seperti Norwegia) berhasil menciptakan keunggulan akademik melalui fokus kebijakan pada kesetaraan.
Berikut testimoni salah satu siswa Finlandia.
Saya adalah pelajar usia 18 tahun Finlandia (bilingual bahasa Finlandia dan bahasa Inggris). Saya adalah siswa dengan performa yang selalu baik. (Dalam ujian matrikulasi, saya meraih nilai yang tinggi, masuk ke 5% siswa skor tertinggi di Finlandia). Saya dididik dengan sistem pendidikan Finlandia hampir seumur hidup saya, kecuali masa 3 tahun dalam program International Baccalaureate.
Program IB menekankan apa yang disebut dengan siswa "berprestasi". Bagi saya, ini adalah lingkungan belajar yang penuh stres. Mengatur fokus pada pekerjaan sekolah sulit bagi saya, ketika hanya murid bintang kelas yang benar-benar mendapat perhatian guru dan sisanya dibiarkan berjuang sendiri. Keadaan ini membuat masing-masing murid beradu satu sama lain - saling tinggi-tinggian nilai ujian (Wow, padahal di sini pemadangan sehari-hari tuh).
Saya meninggalkan program IB setelah tiga tahun, persaingan yang tinggi tidak memberi saya kesempatan lagi untuk sukses dibandingkan dengan pendekatan Finlandia yang ramah. Minat tertentu dan bakat saya selalu diakui oleh guru saya. Guru Finlandia fokus pada menjaga standar kelompok, bekerja sama dengan masing-masing murid. Para siswa yang dirasa lebih sulit mengikuti materi, menerima perhatian dan bantuan yang mereka butuhkan secara individual. Ini tidak berarti bahwa siswa berbakat menjadi tertahan, malah sebaliknya. Guru Finlandia menerima kenyataan bahwa satu kelas terdiri dari berbagai individu dengan tahap perkembangan intelektual yang berbeda. Suasana seperti ini sangat menguntungkan, dan bagi perfeksionis seperti saya, lingkungan ini lebih mudah untuk melakukan yang terbaik.
Sekolah Finlandia memiliki kurikulum nasional yang hadir untuk memberikan guru kebebasan lebih. Ya, saya tahu kedengarannya bertentangan, namun kurikulum hanya menyatakan dengan jelas apa yang harus diajarkan dan diraih sekolah untuk masing-masing kelompok usia. Tidak ada aturan untuk urutan atau metode yang terlibat. Hal ini memungkinkan untuk setiap guru untuk meng-cover setiap topik dengan cara yang menurut mereka menguntungkan dan masuk akal.
***
Demografi Negara Menentukan Kinerja Sistem Pendidikan?
Sentimen tetap eksis pada kesuksesan pendidikan Finlandia ini. Sentimen itu misalnya datang dari Amerika Serikat yang menekankan pada homogenitas penduduk Finlandia.
Pasi Sahlberg menekankan bahwa bukunya tidak dimaksudkan menjadi pedoman ketat untuk memperbaiki sistem pendidikan di negara-negara lain. Keadaan setiap negara berbeda. Dibandingkan dengan Amerika atau Indonesia misalnya, Finlandia adalah negara kecil dengan populasi yang jauh lebih homogen daripada Amerika Serikat atau Indonesia.
Namun, Sahlberg tidak berpikir bahwa masalah ukuran atau homogenitas sebuah negara harus membuat kita mengabaikan contoh Finlandia. Finlandia adalah negara yang relatif homogen - pada 2010, hanya 4,6 persen penduduk Finlandia lahir di negara lain, dibandingkan dengan 12,7 persen di Amerika Serikat. Namun jumlah penduduk kelahiran asing di Finlandia meningkat dua kali lipat selama dekade hingga 2010, dan kualitas pendidikan Finlandia tetap tidak kecolongan. Imigran cenderung berkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, menyebabkan beberapa sekolah menjadi jauh lebih beragam daripada yang lain, namun belum ada banyak perubahan pada kurangnya variasi sekolah Finlandia dalam survei PISA di periode yang sama.
Populasi penduduk Finlandia adalah 5,4 juta jiwa. Jauh dari jumlah penduduk satu negara Indonesia. Populasi penduduk Jakarta saja masih lebih banyak (sekitar 9 juta jiwa). Populasi penduduk satu negara Finlandia setara dengan penduduk provinsi Riau. Dan tentunya, etnis penduduk Indonesia sangat beragam.
Samuel Abrams, peneliti dari Columbia University Teachers College, pernah membahas pengaruh ukuran dan homogenitas penduduk suatu negara pada kinerja pendidikan negara dengan membandingkan Finlandia dengan negara Skandinavia lainnya: Norwegia. Layaknya Finlandia, Norwegia kecil dan lumayan homogen. Tapi tidak seperti Finlandia, Norwegia memiliki kebijakan pendidikan yang lebih mirip Amerika (privatisasi) daripada Finlandia.
Hasilnya? Performa Norwegia pada survei PISA biasa-biasa saja. Abrams menyatakan, kebijakan pendidikan lebih penting dalam menentukan keberhasilan dan mengatasi masalah pendidikan negara daripada ukuran negara tersebut atau keanekaragaman etnis di negara itu.
***
Ekonomi Berbasis Ilmu Pengetahuan
Ketika pembuat kebijakan Finlandia memutuskan untuk mereformasi sistem pendidikan negaranya di tahun 1970-an, mereka melakukannya karena mereka menyadari bahwa untuk menjadi kompetitif, Finlandia tidak bisa mengandalkan pada sektor manufaktur atau sumber daya alam mereka yang minim dan sebaliknya harus berinvestasi dalam ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.
Pengalaman Finlandia menunjukkan bahwa untuk menuju tujuan itu, negara harus menyiapkan bukan hanya beberapa penduduknya dengan baik, tetapi semua penduduknya dengan baik, untuk ekonomi baru. Untuk memiliki sekolah terbaik di dunia mungkin masih belum cukup baik jika ada anak-anak yang tertinggal.
Karena kadang beasiswa, education voucher system, atau sekolah gratis yang cuma satu dua,tidaklah cukup. Selain itu, "anak-anak yang tertinggal" kadang tidak melulu karena soal ekonomi orang tua, tapi ada juga karena "uneducated parents". Orang tua yang tidak sadar tentang pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Dan orang tua macam ini eksis di lapisan ekonomi rendah hingga ekonomi tinggi (keluarga elite).
***
Sistem Ekonomi dan Sosial Finlandia
Berbicara dengan pendidikan sebuah negara, tentu tak lepas dengan pemerintah menjalankan suatu negara. Ya kan kebijakan pendidikan yang ngeluarin pemerintah.
Finlandia bukanlah negara sosialis, baik secara sosial maupun ekonomi, tetapi dijalankan kini oleh pemerintah konservatif (menurut standar Eropa) dan sebelumnya juga dipimpin kaum konservatif (partai para pengusaha) atau disebut juga dengan "Center", yang merupakan partai kaum petani.
Sektor privat diperbolehkan masuk (tidak seperti pada sistem sosialisme sejati), tapi pajak cukup tinggi karena semua layanan publik digratiskan. Singkatnya, untuk sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak (kesehatan, pendidikan, dll) digratiskan; selebihnya untuk sektor-sektor selain itu (kebutuhan sekunder ke tersier ke kemewahan), swasta boleh masuk (ya contohnya kayak Nokia itu).
Finlandia lebih berfokus pada kesetaraan kesempatan. Finlandia adalah negara kecil yang tidak mau bakat apapun yang dimiliki setiap warga negaranya menjadi sia-sia, tidak mau terkonsentrasi di bagian utara atau selatan negara saja,tidak mau spesifik dimiliki oleh si miskin atau si kaya saja, dan tidak mau spesifik bagi yang dibesarkan di desa atau di kota.
Mereka meyakini bahwa kesetaraan dalam pembelajaran dini akan memungkinkan anak-anak untuk menemukan potensi sejati mereka ketika mereka tumbuh dewasa.
***
Apakah kesuksesan sistem pendidikan Finlandia ini terlalu utopia bagi negara lain? Terlalu mustahil?
Pasi Sahlberg menyatakan bahwa walaupun bukunya bukan ditujukan sebagai pedoman strict untuk meraih kesuksesan dalam sistem pendidikan, tapi bukunya dapat dijadikan sebagai "pamflet harapan". Finlandia 20 tahun lalu adalah negara miskin yang bergantung pada sektor agrikultur. Namun, mereka berhasil bangkit dan membutuhkan waktu hingga satu generasi. Komitmen kolektif nasional mengantarkan mereka hingga seperti sekarang. Indonesia? Hehmm..